arrow_upward

Mendagri-Menkeu Satu Tujuan, Dana Daerah Jangan Mengendap!

Minggu, 26 Oktober 2025 : 16.22

 

Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa bersama Mendagri Tito Karnavian. 

JAKARTA , ANALISAKINI.ID- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) M Tito Karnavian menjelaskan perbedaan data simpanan pemerintah daerah (pemda) di perbankan, baik dalam bentuk deposito dan giro. Menurut Tito, tidak ada perbedaan prinsip antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terkait nominal simpanan, melainkan hanya perbedaan teknis dalam metode pelaporan.

Justru, Kemenkeu dan Kemendagri memiliki tujuan yang sama, yakni mendorong agar dana pemerintah daerah (pemda) tidak mengendap di perbankan dan segera digunakan untuk kepentingan masyarakat. "Tujuan kita sama, dana daerah jangan mengendap di bank, tapi segera dibelanjakan untuk masyarakat," ucap Tito di Jakarta dikutip pada Sabtu (25/10/2025).

Tito menjelaskan, selisih sekitar Rp 18 triliun antara data yang dirilis Kemenkeu dan Kemendagri bersifat wajar. Berdasarkan data Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD) per Oktober 2025, dana simpanan pemda tercatat Rp 215 triliun. Sementara data Bank Indonesia (BI) yang dijadikan rujukan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa mencapai Rp 233 triliun per Agustus 2025.

Menurut Tito, selisih dua bulan waktu pelaporan itulah yang menjelaskan perbedaan angka. "Sangat wajar jika berkurang. Kalau Agustus Rp 233 triliun, lalu Oktober Rp 215 triliun, artinya Rp 18 triliun itu sudah dibelanjakan," kata Tito dalam keterangan pers, dikutip Republika.co.id.

Tito menerangkan, semangat antara Kemendagri dan Kemenkeu tetap sejalan, yakni sama-sama ingin mempercepat penyerapan anggaran. Langkah itu juga memastikan dana daerah memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

Dosen hukum pemerintahan daerah Universitas Atma Jaya Yogyakarta Hestu Cipto Handoyo menyebut, baik Mendagri maupun Menkeu memiliki semangat yang sama untuk memastikan dana daerah tidak menumpuk di perbankan. "Baik Kemenkeu maupun Kemendagri berupaya memperkuat disiplin fiskal daerah. Perbedaan data jangan diartikan perbedaan arah, karena tujuannya tetap sama, memastikan uang daerah bekerja untuk rakyat, bukan mengendap di rekening," ujar Hestu.

Hestu menilai perbedaan angka di perbankan Rp 18 triliun tidak menunjukkan konflik atau penyimpangan, melainkan disebabkan oleh perbedaan teknis dan metodologis dalam pelaporan data. Dia mengatakan, data BI yang digunakan Menkeu Purbaya menggambarkan posisi simpanan pemda di bank pada waktu tertentu, umumnya pada akhir bulan.

Sementara data yang digunakan Mendagri Tito melalui SIPD bersumber dari laporan administratif Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), yang bersifat dinamis dan harian. Hal itu diatur dalam Permendagri Nomor 70 Tahun 2019. "SIPD merekam kondisi kas daerah yang terus bergerak, sementara data BI bersifat posisi tetap (cut-off), jadi wajar jika angkanya berbeda," jelas Hestu.

Menurut dia, ada tiga faktor utama yang menyebabkan selisih data. Pertama, perbedaan waktu pelaporan (cut-off date) antara BI dan SIPD. Kedua, perbedaan definisi akun, yaitu rekening tertentu yang masih atas nama Pemda bisa jadi bukan kas daerah operasional.

Ketiga, kesalahan input atau keterlambatan pelaporan di daerah karena keterbatasan SDM dan sistem. Menurut Hestu, semua faktor tersebut bisa diklarifikasi melalui proses rekonsiliasi administratif, tanpa harus diasumsikan sebagai pelanggaran. "Rekonsiliasi data antara ketiga lembaga ini sangat penting untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas keuangan negara," ucap Hestu. (*)

 

Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved