arrow_upward

Gambir dan Nasib Petaninya

Sabtu, 26 September 2020 : 09.00
Dr. Munzir Busniah

Oleh: Munzir Busniah 

Gambir adalah komoditi penting dan menjadi kebanggaan Sumatera Barat serta telah didaftarkan di tingkat nasional sebagai komoditas spesifik Sumbar. Hampir seluruh produksi gambir Sumbar diekspor. Tahun 2018, ekspor gambir nasional mencapai 18.000 ton dengan nilai mencapai Rp715 miliar (setara dengan US 55 juta dollar). 

Lebih dari 80% produksi gambir nasional tersebut dihasilkan oleh Sumbar. Dengan demikian, Sumbar menghasilkan 14.400 ton gambir dengan nilai devisa Rp572 miliar lebih. Daerah penghasil gambir di Sumbar adalah Kabupaten 50 Kota dan Pesisir Selatan.

Komoditi gambir kebanggaan tersebut belum dapat mensejahterakan petani gambir Sumbar. Cerita gambir Sumbar hampir sama seperti cerita 30 – 40 tahun yang lalu. Yaitu beberapa saat harga gambir naik dan petani menikmati harga tersebut. 

Namun tidak lama kemudian harganya akan merosot tajam dan harga gambir yang rendah tersebut bertahan dalam waktu yang cukup lama. Kondisi tersebut membuat petani gambir menjadi terpuruk. 

Seperti saat ini, telah lama harga gambir di tingkat petani hanya Rp16.000,- sampai Rp20.000,- per kg, sedangkan hasil kajian harga gambir yang layak di tingkat petani minimal Rp30.000,-/kg. Dari tinjauan budidaya gambir, ada tiga varitas gambir yang banyak ditanam petani, yaitu varitas Udang, Cubadak dan Riau. Jarak tanam biasanya 1,5 x 2 m atau 2 x 2 m (populasi tanaman per hektar 2.500 –.500 batang). 

Budidaya gambir masih dilakukan secara tradisional dan belum banyak sentuhan teknologi budidaya. Pemupukan dan perawatan kebun jarang dilakukan, apalagi di saat harga gambir rendah seperti saat ini.

Tanaman gambir dapat dipanen setelah berumur 1,5 tahun, yaitu dengan memangkas daunnya untuk diolah. Panen berikutnya dapat dilakukan setiap enam bulan sekali.

Gambir dihasilkan dari ekstraksi daun dan ranting tanaman gambir (Uncaria). Kandungan utama gambir adalah katekin dan tannin. Katekin bersifat antioksidan dan antiradang dan tannin bersifat deaktivator karat atau anti korosi atau digunakan untuk penyamakan kulit. 

Pengolahan atau ekstraksi tanaman gambir disebut pengempaan. Pengempaan menghasilkan getah gambir. Pengempaan melalui serangkaian proses, yaitu perebusan, pengempaan, pengendapan, penirisan, pencetakan dan pengeringan. Pengempaan sangat menentukan kualitas gambir. 

Satu hektar perkebunan gambir dapat menghasilkan satu ton gambir asalan/ton/tahun. Gambir asalan adalah gambir yang biasa dihasilkan petani. Namun gambir asalan tersebut berkualitas rendah, biasanya hanya mengandung 40-50% katekin. 

Semakin tinggi kandungan katenin maka semakin tinggi mutu gambir. Gambir berkualitas tinggi mengandung katekin di atas 70% atau lebih, bahkan bisa mendekati 100%. Rendemen daun gambir mengandung 7 % katekin. 

Tingkat produktivitas lahan gambir berada pada kisaran 14 ton daun gambir/ha/tahun. Adapun produksi getah gambirnya sekitar satu ton/ha/tahun dengan kandungan katekin 60%. Produktivitas lahan bisa lebih satu ton gambir/ha/tahun namun dengan kandungan katetin yang lebih rendah, yang hanya sekitar 40 persen, yang disebut dengan gambir asalan yang biasa diproduksi petani.


Petani Gambir

Kebun gambir biasanya dimiliki secara perorangan. Namun pengempaan biasanya dilakukan secara berkelompok oleh petani atau tenaga pengempa. Satu kelompok biasanya terdiri dari 2 sampai 3 orang. Biasanya masing-masing kelompok mengempa selama enam hari seminggu. 

Sebagai contoh di daerah Pangkalan Kabupaten 50 Kota, kelompok mengempa dari Sabtu sampai Kamis. Pada Jumat hasil kempaan seminggu tersebut dibawa ke pasar untuk dijual.

Pada pengempaan secara tradisional yang dilakukan petani, maka dalam satu hari, dua orang pengempa mampu melakukan 4 sampai 5 kali siklus pengempaan. Dalam satu siklus bisa diolah 30 kg daun gambir, sehingga dalam satu hari bisa dikempa 120 sampai 150 kg daun gambir. 

Dari 150 kg daun tersebut dapat dihasilkan 15 kg gambir asalan kering. Dengan demikian, dalam satu minggu bisa dihasilkan 90 sampai 100 kg gambir asalan oleh dua orang pengempa. 

Di pasar, 100 kg gambir asalan tersebut, jika dijual ke toke (pedagang pengumpul), maka toke akan memotong sekitar 10 persen dari berat gambir dengan alasan gambir masih dalam kondisi basah sehingga perlu dikering lanjutan. 

Jika harga gambir di tingkat petani saat ini (tahun 2020) hanya Rp15.000/kg maka dari 100 kg gambir tersebut akan didapatkan uang sebanyak Rp1.350.000,-. Uang sebanyak itu akan dibagi dua, setengah untuk pemilik kebun gambir dan setengahnya lagi untuk pengempa. Dua orang pengempa akan mendapatkan Rp. 675.000, atau masing-masing pengempa mendapat Rp. 337.500 per orang per minggu. 

Demikianlah penghasilan kotor pengempa gambir saat ini. Jika harga gambir asalan pada angka Rp. 30.000/kg maka penghasilan pengempa berada pada kisaran Rp. 1.350.000,-/bulan.

Kebun gambir bisa menghasilkan 8 ton daun gambir/hektar/tahun. Dengan rendemen 7% maka satu hektar kebun gambir bisa menghasilkan gambir 560 kg/hektar/tahun. Jika harga gambir hanya Rp. 15.000/kg. Maka satu hektar kebun gambir hanya menghasilkan Rp. 8.400.000 per tahun.

Sering pula pengempa untuk mengempa dimodali oleh toke. Jika itu yang terjadi, maka gambir hasil kempaan harus dijual ke toke tersebut. Biasanya toke akan membeli gambir tersebut dengan harganya sendiri, yang biasanya Rp. 1.000 sampai Rp. 2.000 di bawah harga pasar. Tentu saja kondisi tersebut semakin membuat petani gambir semakin merana.

Belum ada bentuk kelompok tani atau bentuk lainnya yang efektif yang dapat menggerakkan petani gambir secara bersama untuk mengatasi permasalahannya. Kondisi tersebut menyebabkan petani berada dalam kondisi yang lemah untuk memperjuangkan berbagai hal tentang gambir dan tata niaganya.

Di samping itu, saat ini perusahaan asing dari India telah membangun pabrik gambir di Pangkalan dengan kapasitas pengolahan mencapai 10 ton daun gambir per hari. Sehingga banyak petani gambir yang tidak lagi mengempa sendiri, namun daun gambirnya langsung dijual ke pabrik gambir. 

Harga daun gambir saat ini sekitar Rp. 1.200/kg. Kemudian, akibat adanya penjualan langsung daun gambir ke pabrik gambir, maka muncul pula toke yang berkeliling kampung untuk membeli daun gambir langsung dari petani. 

Pembangunan pabrik gambir tersebut tentu saja memperburuk masalah. Dalam arti kata, petani menghasilkan daun gambir, namun keuntungan dari proses pengolahan gambir dinikmati oleh pemodal asing.

Penutup

Gambir telah menjadi komoditi kebanggaan Sumatera Barat, namun komoditi tersebut belum mampu mensejahterakan petaninya. Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan tentang gambir ini, khususnya di tingkat budidaya dan permasalahan di tingkat petani. 

Yang masih menjadi masalah adalah aspek budidaya gambir yang belum dilakukan dengan baik, pengolahan gambir yang belum bagus, berbagai permasalahan di tingkat petani, serta harga yang sangat fluktuatif. 

Untuk itu perlu upaya nyata untuk peningkatan teknik budidaya,pengolahan hasil, mendorong tumbuhnya kelompok petani gambir, menjaga kestabilan harga gambir.

(Dekan Fakultas Pertanian Universitas Andalas)

Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved