arrow_upward

Implementasi Desentralisasi Fiskal Berdasarkan UU Nomor 1/2022

Selasa, 19 Desember 2023 : 17.08
Deslina

Oleh : DESLINA

Kasi PDMS KPPN Sijunjung

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah mengalami perubahan dengan ditetapkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). 

Undang Undang No 1 tahun 2022 tentang HKD ini merupakan revisi dari Undang Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 

Dengan adanya UU No 1 Tahun 2022 tentang HKPD maka impelementasi desentralisasi fiskal di Indonesia juga mengalami perubahan. Desentralisasi fiskal dalam UU No, 1 Tahun 2022 tentang HKPD diarahkan kepada pencapaani program prioritas pembamgunan, pemerataan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh daerah.

Secara substansi UU HKPD terdiri dari 4 pilar yakni tentang Pajak dan retribusi daerah, Ketimpangan vertikal dan horizontal, peningkatkan kualitas belanja daerah dan harmonisasi belanja Pusat dan daerah.

Keempat pilar tersebut menjadi fokus utama dan menjadi kesatuan sistem dalam kebijakan pengelolaan desentralisasi fiskal di Indonesia.

Dengan impelentasi UU No 1 Tahun 2022 ini diharapkan akan dapat memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui perbaikan kualitas output dan outcome pelayanan publik dan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh Indonesia. Apalagi dikaitkan dengan pencapaian target RPJM Nasional 2020 - 2024 maka implentasi UU HKPD menjadi kunci pencapaian target RPJM.

Diantara keempat pilar substansi yang terdapat dalam UU HKPD maka tiga diantaranya merupakan pilar yang sangat krusian dalam mewujudkan desentralisasi fiskal yang efektif, efisen dan produktif. 

Ketiga pilar tersebut yaitu penigkatakn Pedapatan Asli Daerah, peningkatan kualitas belanja daerah dan sinergi serta harmonisasi belanja Pusat dan daerah. Oleh karena itu ketiga pilar tersebut harus menjadi fokus dan titik awal dalam impelmentasi UU HKPD.

Peningkatan Pendapatan Asli Daerah Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) merupakan salah satu pilar utama dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang 

HKPD. Pendapatan asli daerah terdiri dari Pajak derah dan retribusi daerah. Selama ini, pengelolaan PAD belum optimal. Hak ini bisa dilihat masih rendahnya proporsi PAD dalam pendapatan Daerah. Pendapatan Daerah sebahagian besar masih didominasi oleh Transfer ke Daerah (TKD).

TKD merupakan bagian Komponen APBN yang merupakan satu kesatuan pendanaan yang dialokasikan ke daerah dari penerimaan negara dengan tujuan mengurangi ketimpangan fiskal pusat dan daerah serta ketimpangan fiskal dan pelayanan publik antar daerah.

Instrumen TKD terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Otonomi Khusus dan Daerah Istimewa, Dana Desa dan Insentif Fiskal.

Dalam struktur penerimaan daerah porsi PAD relatih masih rendah dibandingkan dengan TKD. Porsi PAD baru mancapai 20% - 30% dari pendapatan daerah. Sedangkan TKD mempunyai porsi rata-rata 70% sebagai sumber pendapatan dalam APBD. Alokasi TKD sebagai pendapatan daerah mengalami peningkatan setiap tahun. 

Sedangkan PAD mengalami pertumbuhan yang sangat lambat. Makin besarnya porsi TKD dalam APBD mengindikasikan makin besarnya ketergantungan daerah terhadap TKD. Dengan proporsi yang besar dalam APBD maka TKD mempunyai peran yang penting dan startegis dibandingkan PAD dalam kebangkitan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Untuk meminimalisir ketergantungan pendapatan daerah dari TKD maka pemerintah dengan berpegang pada azas desentralisasi fiskal terus mendorong daerah untuk dapat menggali potensi dalam pengelolaan PAD. 

Dengan pengelolaan PAD yang makin optimal tentu akan dapat meningkatkan  pendapatan daerah yang dengan sendiri akan dapat meningkatkan kemampuan darah dalam rangka lebih memajukan dan meluaskan upaya belanja daerah untuk melaksanakan pembangunan dan program strategis di daerah.

Dalam rangka lebih menggali potensi daerah serta mengurangi ketergantungan daerah terhadap TKD, maka dalam UU HKPD pemerintah melakukan penguatan kewenangan pemajakan daerah agar dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. 

Melalui UU HKPD dilakukan pengaturan dan restrukturisasi Pajak daerah dan retribusi daerah serta intergrasi pajak daerah. Diharapakan dengan upaya ini dapat mengoptimlah pemungtan pajak dan retribusi daerah. Selain itu dalam UU HKPD juga di atur tentang skema opsen berupa tambahan pungutan pajak berdasarkan presentase tertentu sebagai pengganti skema bagi hasil. Opsen pajak di terapkan pada pajak

Minderal bulan Logam dan Batuan (MBLB) yang dipungut oleh pemerintah Propinsi serta Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendatraan Bermotor (BBNKB) yang dipungut oleh pemerintah Kab/Kota.

Sementara itu, terhadap retribusi daerah dilakukan rasionalisasi dalam rangka efsiensi pelayanan publik dan mendukung iklim investasi serta kemudahan berusaha dengan menjaga iklim berusaha dan tetap menjaga PAD.

Dalam rangka penguatan sistem perpajakan daerah maka dalam UU HKPD juga diatur tentang membangun kerja sama yang kuat antara daerah dan kementerian Keuangan agar daerah benar benar mampu meningkatkan sistem perpajakannya. Masih banyak daerah yang memiliki potensi besar di sektor pajak akan tetapi belum mampu untuk mengelola secara optimal. 

Agar potensi pajak daerah dapat dikelola secara optimal maka diperlukan pendampingan dan edukasi kepada daerah untuk meningkatkan sistem perpajakan sebagai implementasi UU HKPD.Dengan di tetapkan UU HKPD maka pemda diharuskan untuk menyusun dan menerbitkan Peraturan Daerah baru tentang Pajak dan Retriusi daerah. 

Sebagaimana di amanatkan UU HKPD paling lambat sampai 4 Januari 2024 Perda tentang Pajak dan Retribusi Daerah baru telah ditetapkan. Hal ini menjadi agenda mendesak bagi daerah untuk menetapkan Perda tentang Pajak dan Retribusi daerah. Peningkatan Kualitas Belanja Daerah

Selain Pajak daerah, salah satu pilar penting dan strategis dalam UU HKPD adalah peningkatan kualitas belanja daerah. Hal in cukup logis karena jika dilihat dari struktur belanja APBN dimana hampir sepertiga belanja dalam APBN di alokasikan dalam Transfer ke Daerah (TKD).

Pada APBN 2023 alokasi TKD mencapai Rp. 814, 72 triliun dari total belanja negara sebesar Rp. 3.061 triliun. Alokasi TKD dialokasikan melalui Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Dana Otonomi Khusus / Keistimewaan dan Dana Desa.  Melalui UU HKPD penggunaan TKD di tujukan untuk meningktkan efektifitas, efisiensi dan produktivitas sehinggan akan memberikan dampak positif  bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro Pokok pokok Kebijaksanaan Fiskal (KEM_PPKF) tahun 2024 menyebutkan risiko fiskal daerah masih menjadi salah satu tantangan dalam pencapaian target pembangunnan. Dalam kaitan ini diasumsikan dalam belanja daerah masih terdapat potensi risiko 

Potensi risiko tersebut adalah penggunaan belanja ABPD yang belum efisien, efektif dan akuntabel dalam memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah. 

Dari data empiris diketahui sebahagian besar belanja daerah dalam APBD (60%) dialokasikan untuk belanja birokrasi yakni belanja pegawai dan belanja barang Jasa. Sedangkan belanja modal untuk infrastruktur dan pelayanan publik baru sekitar 20%. Hal ini menyebabkan belanja APBD belum mempunyai pengaruh signifikan dalam memberikan efek berganda bagi pertumbuhan ekonomi.

Peran TKD sangat krusial bagi kebangkitan perkonimian daerah. Selama dua dekade terakhir anggara TKD terus menlami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2022 angggaran TKD mencapai Rp.769,6 Triliun dan pada tahun 2023 ini alokasi anggaran TKD mencapai Rp. 814,7 triliun. 

Namun di sisi lain, peningkatan TKD tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Diduga salah satu penyebeb belum terwujudnya kesejahteraan msyarakat di daerah adalah belanja daerah yang belum berkualitas. Seharusnya penggunaan dana TKD dapat dioptimalkan untuk pembangunan melalui alokasi Belanja Modal. 

Belanja Modal merupakan instrumen belanja yang signifikan mendukung pemulihan ekonomi dan transformasi ekonomi serta mempunyai dampak berganda terhadap perekomian. Misalnya Alokasi belanja modal untuk program Padat karya akan akan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja  baru sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi riil. 

Sedangkan dalan jangka menengah dan panjang alokasi belanja modal yang tepat akan dapat mendorong pemerataan dan mengurangi ketimpangan antar daerah. 

Selain itu pertumbuhan TKD setiap tahun juga tidak diikuti dengan serapan belanja yang optimal. Penyerapan belanja daerah biasanya baru meningkat pada triwulan 3 dan triwulan 4. Keterlambatan realisasi penyerapan belanja daerah ini mengindikasikan masih banyak belanja daerah yang belum digunakan oleh daerah. Padahal belanja daerah tersebut berperan menjadi motor penggerak perekonomian seluruh Indonesia.

Dengan ditetapkannya UU No 1 tahun 2022 tentang HKPD antara lain diatur tentang penyusunan anggaran belanja daerah dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran  peng terpadu dan pengganggaran berbasis kinerja. 

Pengaturan belanja daerah ditujukan untuk mengurangi ketimpangan serta mendorong perbaikan kualitas belanja daerah yang efektif dan efisien. Implementasi UU HKPD  diharapkan akan menjadi solusi utama bagi aerah untk mengeksekusi. belanja APBD secara responsif, opimal dan brrdampak terhadap  peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah untuk meningkatkan  kualitas belanja daerah lebih produktif dalam UU HKPD diatur pengendalian belanja pegawai, penguatan belanja infrasruktur dan pelayanan publik serta Sisa Lebih Pembiayan (SILPA) berbasiskan kinerja. 

Belanja pegawai yang dialokasikan dalam TKD dibatasi maksimal 30% dari belanja APBD. Belanja infrastrukur dan pelayanan publik wajib  alokasikan minimal 40% dari belanja APBD. Sedangan SILPA dapat diinvestasikan/digunakan untuk membentuk Dana Abadi Daerah. Untuk mengakselerasi pembangunan daerah pemda dapat memanfaatkan pembiyaan utang daerah yang terdiri dari pinjaman

daerah, obligasi daerah, sukuk daerah dengan menerapkan prinsip kehati hatian dan kesinambungan fiskal daerah. Pada intinya dalam UU HKPD pemerintah berkomitmen untuk melakukan rekomposisi dan penajaman belanja modal dengan memperhatikan keselarasan antar program dan prinsup belanja berkualitas , Dengan demikian diharapkan belanja daerah bisa lebih mengungkit pertumbuhan ekonomi  an kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya dengan UU HKPD akan dapat menjadi solusi bagi peningkatan kualitas belanja daerah.

Sinergi Belanja Pusat dan Daerah

Salah startegi dalam mewujudakan peningkatan kualitas belanja daerah adalah dengan menciptakan sinergi antara pusat dan daerah. Belanja pusat dan dan daerah tidak bisa bejalan sendiri sendiri akan tetapi harus dilakukan kerjasama untuk meningkatkan harmonisasi dan sinergi kebijakan belanja Pusat dan daerah. Hal ini bertujuan untuk menghindari duplikasi dan overlapping dalam pengguanaan belanja sehingga belanja dapat diniklmati rakyat baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun belanja yang berasala dari daerah.

Dalam UU HKPD juga di atur tentang sinergi kebijakan fiskal nasional melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, penetapan batas maksimal defisit APBD dan pembiayaan utang daerah, pengendalian dalam kondisi darurat serta sinergi bagan akun standar.

Oleh karena itu tidak ada lagi alasan keterlambatan pencairan belanja yang di sebabkan belum turunya Petunjuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis. Oleh karena itu kebijakan desentralisasi fiskal dalam UU HKPD membawa optimisme dalam penerapan kebijakan TKD yang mensejajarkan belanja daerah yang sepertiga dari APBN agar bisa seiring ejalan, harmonis dan sinergis (do)



Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved