arrow_upward

Sebuah Pledoi dari Bumi Rendang

Jumat, 17 Juni 2022 : 14.08
Benny Inayatullah

Oleh Benny Inayatullah

Siapa yang hendak membantah bila kami mengklaim suku bangsa Minangkabau ini adalah suku bangsa yang hebat? Lebih dari 50% pendiri bangsa ini adalah orang Minangkabau begitulah klaim kami. 

Siapa yang tak mengenal Tan Malaka? Wakil Komintern Komunis di Asia Tenggara. Ialah yang pertama kali mencita-citakan bentuk negara ini sebagai republik. Baca saja karya Tan yang berjudul “Naar de Republik “ itu kalau tidak percaya. Ya.. semacam slogan PT Semen Padang “kami telah berbuat sebelum orang lain memikirkan” itulah.

Jauh sebelum republik ini lahir, kaum muda dari penjuru Nusantara berkumpul untuk membulatkan tekad menjadi satu bangsa yaitu bangsa Indonesia. Siapa yang merumuskan tekad yang kemudian dinamakan sumpah pemuda itu? Muhammad Yamin, orang Talawi Sawahlunto. Minangkabau ia.

Ketika republik ini dicetuskan kemerdekaannya ada seorang tokoh yang ditunggu-tunggu oleh para pemuda dan Soekarno untuk membacakan naskah proklamasi. Muhamad Hatta namanya, Orang Minangkabau pula yang kemudian tercatat sebagai Bapak Proklamator bersama Ir. Soekarno.

Ketika Republik ini berbentuk parlementer siapa pula perdana menteri pertamanya? Sutan Syahrir orang Minangkabau. Ketika negara ini kembali ke bentuk kesatuan siapa yang menginisiasi mosi integral? M. Natsir namanya. Minang pula dia.

Jadi suku bangsa Minangkabau ini dulu memang hebat sekali. Bahkan ketika pemerintahan orde lama telah begitu tidak terkontrol dengan demokrasi terpimpinnya, orang Minangkabau menjadi pusat dari perlawanan yang kemudian bernama PRRI/Permesta itu. Kami memang memiliki saham besar di republik ini tapi kami berani pula melawan pemimpin republik ini bila dinilai telah menyimpang. Itulah sehormat-hormatnya harga diri.

Tidak usah pulalah kami ceritakan tentang kiprah orang Minangkabau ditingkat regional. Ketika Tuanku Abdul Rahman adalah Yang Dipertuan Agong Malaysia pertama. Tidak usah pulalah kami ceritakan pendiri kerajaan Brunei adalah orang Minangkabau pula yang bernama Muhammad Syah. Pendiri kota Manila yakni Raja Sulaiman begitu pula pendiri kerajaan Sulu di Filipina sana. Tidak usah diceritakan, sejarah sudah mencatat dengan baik.

Sejarah juga terus mencatat bagaimana kami Minangkabau ini dikenal sebagai kaum yang taat beragama. Serambi mekah julukannya. Banyak ulama terkenal dari sini. Buya Hamka siapa yang tidak kenal? jauh sebelum itu Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah orang Minangkabau yang menjadi imam besar di Masjidil Haram. Pangkat apa yang lebih tinggi dari pada itu? Tak usah disebut.

Rasa-rasanya memang masa depan kami orang Minangkabau ini terletak di masa lalu. Jadi tuan dan puan yang non-Minangkabau janganlah heran melihat kami suka mengenang-ngenang masa lalu. Ya demikianlah faktanya. Kami memang suku bangsa yang pernah berjaya.

Kini tidak lagi seperti itu. Sejak kalahnya perjuangan kami dalam PRRI, kejayaan itu terus menurun. Tak banyak tokoh kami yang kemudian menjadi lakon besar di pentas republik ini. Bahkan generasi muda kami terpaksa harus memakai nama yang terdengar asing kebarat-baratan sekedar untuk menyembunyikan identitas kesukuan kami. Begitu benarlah.

Semasa orde baru, dahaga kami sedikit terpuaskan ketika setiap kabinet pemerintahan yang baru terbentuk selalu menempatkan orang Minangkabau sebagai menteri. Ini sangat menyenangkan bagi kami sehingga setiap anak sekolah dipaksa menghapal nama menteri dan mencermati dari nama-nama itu siapa yang merupakan orang Minangkabau.

Ketika masa reformasi, mulai banyak lagi muncul tokoh yang membanggakan kami karena telah menjadi “orang” di pentas nasional. Sudah mulai banyak tokoh kami yang menjadi menteri. Sebut saja Gamawan Fauzi yang menjadi Mendagri setelah menjabat Gubernur. Dan yang paling membanggakan ada tokoh Minangkabau yang menjadi ketua DPD RI selama 2 periode jabatan. Ketua DPD RI itu nomor polisinya RI 7. Ini adalah posisi tertinggi yang dijabat oleh orang Minangkabau setelah Hatta silam.

Namun, sayang seribu sayang, bunga yang mulai mekar harus kuncup kembali. Kebanggaan kami yang begitu memuncak itu harus kembali terhempas berkeping-keping ketika Ketua DPD RI yang orang Minangkabau tersangkut kasus korupsi dan mengakhiri karir politiknya dengan buruk.  

Apalagi yang kami orang Minangkabau ini bisa banggakan saat ini? Hampir tidak ada. Kami yang begitu bangga dengan slogan Adat Bersandi Syarak Syarak Bersandi Kitabullah ini kemudian harus memicingkan mata dan mengempiskan dada ketika ternyata kasus kekerasan seksual, LGBT dan kekerasan rumah tangga sangat marak terjadi (lihat data BPS). Bagaimana mungkin kami yang beradat dan berlembaga ini dihadapkan kepada kenyataan serupa ini?

Kalau tuan dan puan menganggap kami minder atau tidak percaya diri terhadap kondisi saat ini, tidak hendak kami membantah. Malah kalau tuan dan puan menganggap kami terjangkit gejala akut yang bernama post power syndrom kami tak pula hendak marah. Ya, kami memang suku bangsa yang dulu sangat berkuasa namun saat ini kami tak lebih dari pada sisa-sisa kejayaan masa lalu.

Satu-satunya kebanggaan kami sebagai orang Minangkabau saat ini adalah kami memiliki masakan yang sangat gemilang yakni rendang. Kami sangat bangga ketika rendang dinobatkan sebagai masakan paling enak di dunia versi CNN Internasional. Sebanyak ini masakan yang ada di muka bumi maka rendanglah yang paling enak. Tidak heran kiranya rendang ini memang makanan raja-raja dulunya.

Satu-satunya kebanggaan kami saat ini janganlah pula hendak direnggut dengan memasangkan rendang itu dengan daging babi. Jangan! kemana pula muka akan kami surukkan ketika rendang yang teramat mulia dan kebanggaan kami yang tersisa dinista sedemikian rupa!

Kalau tuan dan puan memang berhati lapang, tolong maklumi sajalah kami ini. Tidak mudah menjalani alur sejarah seperti yang telah kami ukirkan. Sikap reaktif yang kami sampaikan ketika ada rendang babi ini janganlah dianggap sebagai sikap kekanak-kanakan. Anggap sajalah kami orang tua yang sudah mulai termakan usia dan suka mengenang-ngenang masa lalu.

Jadi, janganlah renggut kebanggaan kami satu-satunya yang tersisa itu. Lindungi rendang kami dari daging babi. Itu saja. (***)

Penulis adalah peneliti The Indonesian Institute dan perantau Minang asal Limapuluh Kota


Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved