Usmar Ismail. |
Padang, Analisakini.id-Presiden Joko Widodo kembali memberikan gelar pahlawan nasional di tahun 2021. Ada empat tokoh yang akan menerimanya yaitu alm. Tombolotutu (tokoh dari Sulawesi Tengah), alm. Sultan Aji Muhammad Idris (tokoh dari Kalimantan Timur), alm. Aji Usmar Ismail (tokoh dari DKI Jakarta), dan alm. Raden Arya Wangsa Kara (tokoh dari Banten).
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam konferensi pers yang disiarkan langsung melalui YouTube Kemenko Polhukam, Kamis (28/10/2021). mengatakan keempat tokoh tersebut dipilih karena memenuhi syarat seperti pernah berjuang hingga banyak melahirkan manfaat bagi kemajuan negara. Selain itu, kali ini Jokowi memutuskan empat tokoh tersebut dikarenakan untuk pemerataan kedaerahan.
Usmar Ismail adalah salah satu yang ditetapkan akan menerima gelar Pahlawan yang diusulkan oleh DKI Jakarta. Usmar Ismail yang dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia merupakan putra Minang kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, 20 Maret 1921.
Ayahnya adalah Datuk Tumenggung Ismail, guru Sekolah Kedokteran di Padang, dan ibunya, Siti Fatimah . Ia mempunyai seorang kakak yang juga terjun ke dunia sastra, yakni Dr. Abu Hanifah yang menggunakan nama pena, El Hakim.
Perjalanan pendidikannya cukup mulus. Mula-mula ia bersekolah di HIS (sekolah dasar) di Batusangkar, lalu melanjutkan ke MULO (SMP) di Simpang Haru, Padang, dan kemudian ke AMS (SMA) di Yogyakarta. Setamat dari AMS, ia melanjutkan lagi pendidikannya ke University of California di Los Angeles, Amerika Serikat.
Usmar sudah menunjukkan bakat sastranya sejak masih duduk di bangku SMP. Saat itu, ia bersama teman-temannya, antara lain Rosihan Anwar, ingin tampil dalam acara perayaan hari ulang tahun Putri Mahkota, Ratu Wilhelmina, di Pelabuhan Muara, Padang.
Usmar ingin menyajikan suatu pertunjukan dengan penampilan yang gagah, unik, dan mengesankan. Ia bersama teman-temannya hadir di perayaan itu dengan menyewa perahu dan pakaian bajak laut. Sayang, acara yang direncanakan itu gagal karena mereka baru sampai saat matahari tenggelam dan mereka hampir pingsan karena kelelahan mengayuh perahu menuju Pelabuhan Muara.
Akan tetapi, acara yang gagal itu dicatat Rosihan Anwar sebagai tanda bahwa Usmar Ismail memang berbakat menjadi sutradara, yang mempunyai daya khayal untuk menyajikan tontonan yang menarik dan mengesankan.
Setelah duduk di bangku SMA, di Yogyakarta, Usmar semakin banyak terlibat dengan dunia sastra. Ia memperdalam pengetahuan dramanya dan aktif dalam kegiatan drama di sekolahnya. Ia juga mulai mengirimkan karangan-karangannya ke berbagai majalah.
Bakatnya kian berkembang saat bekerja di Keimin Bunka Sidosho ( Kantor Besar Pusat Kebudayaan Jepang). Di tempat itu, ia bersama Armijn Pane dan budayawan lainnya bekerja sama untuk mementaskan drama.
Hari pertama syuting film tersebut kemudian diresmikan menjadi Hari Film Nasional oleh Presiden ke-3 BJ Habibie bersama Dewan Film Nasional. Sebelum berkarier di dunia perfilman, Usmar Ismail lebih dulu terjun di dunia sastra, khususnya di seni drama.
Pada tahun 1943, Usmar Ismail bersama abangnya, El Hakim, dan bersama Rosihan Anwar, Cornel Simanjuntak, serta H.B. Jassin mendirikan kelompok sandiwara yang diberi nama Maya. Maya mementaskan sandiwara berdasarkan teknik teater Barat. Hal itu kemudian dianggap sebagai tonggak lahirnya teater modern di Indonesia. Sandiwara yang dipentaskan Maya, antara lain, “Taufan di Atas Asia (El Hakim)”, “Mutiara dari Nusa Laut (Usmar Ismail)”, “Mekar Melati (Usmar Ismail)”, dan “Liburan Seniman (Usmar Ismail)”.
Sesudah masa proklamasi kemerdekaan, Usmar menjalani dinas militer dan aktif di dunia jurnalistik di Jakarta. Bersama dua rekannya, Syamsuddin Sutan Makmur dan Rinto Alwi, mereka mendirikan surat kabar yang diberi nama Rakyat. Setelah hijrah ke Yogyakarta, Usmar juga sempat mendirikan harian Patriot dan bulanan Arena di sana.
Saat menjalankan profesi sebagai wartawan itulah, Usmar pernah dijebloskan ke penjara oleh Belanda karena dituduh terlibat kegiatan subversi. Saat itu ia bekerja sebagai wartawan politik di kantor berita Antara dan sedang meliput perundingan Belanda RI di Jakarta. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1948.
Pada perkembangan selanjutnya, Usmar mulai menaruh minatnya yang lebih serius pada perfilman. Sebenarnya, sewaktu masih di Yogya pun, Usmar hampir setiap minggu bersama teman-temannya berkumpul di suatu gedung di depan Stasiun Tugu untuk berdiskusi mengenai seluk-beluk film. Teman berdiskusinya itu, antara lain, Anjar asmara, Armijn Pane, Sutarto, dan Kotot Sukardi.
Anjar Asmara itulah orang pertama yang menawarinya menjadi asisten sutradara dalam film “Gadis Desa”. Setelah itu, berlanjut pada penggarapan film berikutnya, seperti “Harta Karun”, dan “Citra”.
Sepanjang kariernya, Usmar Ismail telah membuat lebih dari 30 film. Beberapa film produksi Usmar Ismail yang terkenal yakni Pedjuang (1960), Enam Djam di Djogja (1956), Tiga Dara (1956), dan Asrama Dara (1958). Tak hanya itu, film arahan Usmar Ismail berjudul Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi) yang diproduksi 1950 menjadi film pertama yang secara resmi diproduksi oleh Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat.
Untuk mengenang jasanya, diabdikanlah namanya di sebuah gedung perfilman, yaitu Pusat Perfilman Usmar Ismail yang terletak di daerah Kuningan, Jakarta.
Usmar Ismail meninggal pada 2 Januari 1971 karena sakit (stroke), dalam usia hampir genap lima puluh tahun. (***)