Ilustrasi Pilkada 2020. |
Jakarta, AnalisaKini.id- Mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Maruarar Siahaan mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) bisa saja memenangkan pasangan calon (paslon) pemilik suara terbanyak kedua sebagai kandidat terpilih di dalam pilkada.
Terutama, kata dia, ketika paslon pemilik suara terbanyak pertama di pilkada, terbukti melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
"Tentang putusan sampai kepada diskualifikasi dan paslon yang memiliki suara terbanyak kedua ditetapkan sebagai paslon yang dilantik, tetap dimungkinkan," kata Maruarar dalam pesan singkatnya kepada awak media, Sabtu (6/3/2021) seperti dikutip dari tribunnews.com.
Namun, kata dia, MK perlu memeriksa kinerja Bawaslu sebelum memenangkan paslon pemilik suara kedua sebagai kandidat terpilih.
Misalnya kemungkinan Bawaslu tidak menangani atau bekerja tidak sesuai dengan aturan.
Kemudian, kata dia, MK perlu menguji pilkada yang terdapat pelanggaran hukum pemilu soal TSM.
Jika pelanggaran TSM terbukti, kata dia, MK berwenang menyatakan paslon yang ditetapkan sebagai pemenang untuk didiskualifikasi.
Setelah itu, kata dia, paslon pemilik suara terbanyak kedua dilantik sebagai pemenang pilkada.
Namun, ujar dia, MK dapat menyatakan pemilihan ulang, ketika perolehan suara paslon yang diskualifikasi tidak berbeda jauh.
Mekanisme pemungutan suara ulang ini bisa terjadi ketika jumlah paslon lebih dari dua.
Selanjutnya selisih suara antara Paslon yang tidak didiskualifikasi terpaut tipis.
"MK berwenang menyatakan paslon yang ditetapkan sebagai pemenang oleh KPU didiskualifikasi dan menyatakan pemenang kedua yang dilantik, atau jika suara pasangan calon di luar diskualifikasi tidak berbeda jauh, dapat menyatakan dilakukan pemungutan suara ulang, di luar keikutsertaan paslon yang didiskualifikasi," ujar dia.
Selain itu, lanjut Maruarar, adanya indikasi kecurangan juga menjadi pertimbangan mahkamah ketika menerima perkara sengketa pilkada yang selisih suaranya melebihi syarat ambang batas.
Dia mengatakan, syarat ambang batas sendiri telah mendorong pasangan calon untuk mengejar selisih suara yang menjamin kemenangan mereka tidak bisa digugat ke MK.
Demi mengejar target tersebut, paslon terkadang menggunakan cara tidak sah atau melanggaran ketentuan penyelenggaran dalam undang-undang, serta melanggar hak-hak asasi pasangan calon tertentu.
"Oleh karenanya, agak berbeda dari masa sebelumnya ketika norma ambang batas mulai diterapkan, MK yang melihat masalah ambang batas dalam praktek, menyebabkan tidak senantiasa menyatakan permohonan yang jumlah selisih melewati ambang batas yang ada segera dinyatakan tidak dapat diterima," tutur dia.
"Jika ada petunjuk awal yang ditunjukkan dalam bukti-bukti yang menjadi lampiran permohonan, MK akan menunda sikap tentang ambang batas setelah memeriksa pokok perkara, untuk melihat benar atau tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran, termasuk yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif, dalam proses penyelenggaraan," pungkas Maruarar. (***)