Ikan mati di danau Maninjau. (dok. tempo.co) |
Jakarta, AnalisaKini.id - Ribuan ikan mati di Danau Maninjau, Agam, Sumatera Barat (Sumbar), sejak Selasa (2/2/2021). Ikan itu milik petambak di sekitar danau itu. Matinya ikan dalam keramba di danau kebanggaan Sumbar tersebut, sudah sering terjadi.
Ahli limnologi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah menjelaskan prihal kematian ikan itu. Nama ahli tersebut adalah M.Fakhrudin. Beberapa tahun lalu, dia menyebut ikan-ikan itu mati karena ada pembalikan massa di danau secara alami.
"Itu gini, itu kan secara proses alami. Ada terjadi pembalikan massa secara alami. Nah sekarng ada pembalikan, massa di air bawah itu racun, ada racun dan oksigennya rendah. Racun itu karena banyak sisa pakan yang menumpuk di bawah," kata Fakhrudin seperti dikutip dari detikcom, Jumat (28/3/2014).
Menurut dia, pembalikan massa itu terjadi rutin sejak Januari hingga Maret. Begitu terjadi pembalikan massa maka racun naik ke atas, tambah lagi oksigen sedikit sehingga kalau ikannya di dalam keramba, karena kepadatan dan tak bisa kemana-mana, kalau di luar keramba bisa kemana-mana.
Pembalikan massa terjadi karena pada umumnya suhu di atas mendekati suhu yang di bawah. Suhu di atas dingin karena hujan dan mendung, ditambah angin. Di air itu, yang ringan itu akan ke atas.
"Nah sisa-sisa yang di bawah itu naik ke atas karena kondisi suhu dan oksigen yang kurang. Solusinya, di musim pembalikan massa ini jangan dilakukan penanaman ikan, karena risikonya ya seperti ini," jelas dia.
LIPI sudah memberitahu petambak dan warga. Tapi ya mungkin saja ada yang nekat dengan tetap menanam ikan. "Jadi penyebab ikan itu mati tidak terlalu complicated, dahulu 2009 lebih banyak lagi yang mati," jelas dia.
Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai sumber, hampir tiap tahun kematian ikan di danau Maninjau. Berikut datanya :
2010 sekitar 500 ton
2011 sekitar 500 ton
2012 sekitar 300 ton
2013 sekitar 8 ton
29 Januari 2014 sekitar 10 ton
23 Januari 2014 sekitar 11,53 ton
19 Maret 2014 sekitar 175,85 ton,
4 Agustus 2014 sekitar 50 ton.
11 Agustus 2014 sekitar 400 ton
29 Desember 2014 sekitar 220.
4 Februari 2015 sekitar 175 ton, kerugian Rp3 miliar
24 Februari 2016 sekitar 20 ton, kerugian Rp360 juta
6 Desember 2017 sekitar 100 ton
4 Februari 2018 sekitar 160 ton, kerugian Rp3,75 miliar
5 Februari 2020 sekitar 79,5 ton, kerugian Rp1,55 miliar
2 Februari 2021 sekitar 15 ton
(***)