arrow_upward

Gugatan Pilkada Sijunjung Disebut Lewati Tenggat Waktu

Rabu, 03 Februari 2021 : 09.59

 


Jakarta, AnalisaKini.id- Permohonan yang diajukan calon Bupati dan Wakil Bupati Sijunjung, Hendri Susanto-Indra Gunalan dinilai sudah melewati tenggang waktu yang ditentukan peraturan perundang-undangan, sehingga harus dinyatakan tak dapat diterima.

“Permohonan yang diajukan pemohon telah melewati tenggang waktu pengajuan permohonan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian cukup alasan bagi majelis hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan permohonan pemohon ini tidak dapat diterima,” ujar Defika Yufiandra, kuasa hukum calon Bupati dan Wakil Bupati Sijunjung, Benny Dwifa Yuswir-Iraddatillah sebagai pihak terkait dalam sidang sengketa hasil pilkada Sijunjung di Mahkamah Konstitusi, Senin (1/2/2021).

Dalam persidangan dengan agenda keterangan pihak terkait itu, Defika menjelaskan berdasarkan ketentuan Pasal 157 ayat (5) UU Pilkada jo Pasal 7 ayat (2) Peraturan MK Nomor 6 Tahun 2020, permohonan penyelesaian perselisihan hasil pemilihan kepala daerah diajukan dalam jangka waktu paling lambat tiga hari terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara.

“Penetapan perolehan suara hasil pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sijunjung Tahun 2020 diumumkan oleh termohon pada Selasa tanggal 15 Desember 2020 pukul 15.05 WIB. Dengan demikian, seharusnya batas akhir tenggang waktu tiga hari kerja untuk mengajukan permohonan adalah pada 17 Desember 2020 pukul 24.00 WIB,” tegas Adek, panggilan akrabnya seperti dikutip dari singgalang.co.id.

Sementara permohonan diajukan oleh pemohon secara daring (online) pada 18 Desember 2020 pukul 23.20 WIB, sebagaimana tercatat pada website resmi Mahkamah Konstitusi. “Artinya, pengajuan permohonan telah melewati tenggang waktu selama 23 jam dan 20 menit,” lanjut Managing Director Kantor Hukum Independen (KHI) ini.

Kemudian secara normatif pemohon tidak memenuhi kualifikasi yang ditentukan Pasal 158 ayat (2) UU Pilkada. Sebab, dengan keberadaan Sijunjung sebagai kabupaten yang memiliki jumlah penduduk sebanyak 237.376 jiwa, maka syarat selisih suara antara pemohon dengan pihak terkait maksimal sebesar 2 %. Faktanya, selisih suara antara pemohon dengan pihak terkait sesuai Keputusan KPU Kabupaten Sijunjung Nomor tentang 272/PL.02.06-Kpt/1303/KPU-Kab/XII/2020 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sijunjung Tahun 2020, tanggal 15 Desember 2020 adalah sebesar 2.925 atau 2,68 % dari suara sah.

Defika juga menegaskan, permohonan pemohon tidak jelas. Pihaknya menemukan adanya pertentangan atau ketidakselarasan antara petitum yang satu dengan petitum lainnya. Pertentangan atau ketidakselarasan antar petitum terdapat pada petitum angka enam.

“Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sijunjung untuk menganulir perolehan suara pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sijunjung nomor urut tiga tahun 2020 Benny Dwifa Yuswir dan Iraddatillah dan membuat keputusan menetapkan Hendri Susanto-Indra Gunalan sebagai peroleh suara terbanyak dengan perolehan 24.376 suara”.

Kemudian pada petitum angka tujuh “Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sijunjung untuk melakukan pemungutan suara ulang pada semua TPS di seluruh Kabupaten Sijunjung yang hanya diikuti oleh empat pasangan calon yaitu pasangan calon nomor urut 1 Ashelfine– Sarikal, nomor urut 2 Endre Saifoel–Nasrul, nomor urut 4 Arrival Boy -Mendro Suarman, dan nomor urut 5 Hendri Susanto- Indra Gunalan.

“Permintaan pemohon pada petitum angka enam agar menetapkan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sijunjung nomor urut 5 Hendri Susanto-Indra Gunalan sebagai peraih suara terbanyak jelas sangat bertentangan dengan petitum angka tujuh yang pada pokoknya meminta agar mahkamah memerintah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Sijunjung untuk melakukan pemungutan suara ulang (PSU) di seluruh TPS di Kabupaten Sijunjung,” jelas mantan Ketua KNPI Sumbar ini.

Menurutnya, salah satu kriteria dalil permohonan yang mengandung ketidakjelasan yang dapat berdampak dinyatakannya permohonan Pemohon tidak dapat diterima adalah adanya pertentangan antara pernyataan yang satu dengan pernyataan lainnya dalam permohonan. “Maka beralasan hukum bagi mahkamah untuk menyatakan permohonan a quo tidak jelas atau kabur (obscuur libel), sehingga permohonan harus dinyatakan tidak dapat diterima,” tuturnya lagi.

Terkait kesimpulan pemohon tentang pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif menurut Adek, dalil pemohon sepanjang mengenai pihak terkait telah melakukan pelanggaran politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif yang melibatkan ASN, keterlibatan pejabat pemerintahan tertinggi hingga terendah di Kabupaten Sijunjung yang sangat merugikan pemohon, hanyalah asumsi pemohon semata karena tidak didukung oleh fakta dan bukti-bukti yang sesuai.

Jika pihak terkait katanya, memang telah melakukan pelanggaran politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif, tentunya pemohon atau pihak lainya telah menempuh upaya hukum menggunakan mekanisme pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif sebagaimana diatur dalam Pasal 135A UU Pilkada kepada Bawaslu Provinsi Sumatera Barat sebagai lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran administrasi yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif.

Pada faktanya, hingga saat jawaban dan keterangan pihak terkait disampaikan, sama sekali tidak terdapat proses hukum terhadap dugaan pelanggaran administrasi yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif di Bawaslu Provinsi Sumatera Barat. “Oleh karena itu, tuduhan pemohon bahwa pihak terkait telah melakukan pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif tidak lainnya hanyalah bentuk kekecewaan pemohon terhadap hasil pemilihan bupati dan wakil bupati, di mana pihak terkait memperoleh dukungan yang lebih banyak dari pemilih dibandingkan pemohon,” ujarnya.

Karena berbagai tuduhan pemohon hanyalah asumsi dan tidak lebih dari sebatas ekspresi tidak dapat menerima hasil pemilihan, maka seluruh dalil-dalil yang disampaikan pemohon haruslah ditolak.

Sementara terkait dalil Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana Kampanye (LPPDK) pihak terkait yang terlambat disampaikan, Adek menegaskan, penyampaian LPPDK pihak terkait sama sekali tidak terlambat. “KPU Sijunjung sebagai penyelenggara pemilihan juga telah bekerja secara optimal untuk melayani, namun karena terdapat kendala jaringan maka akhirnya penerimaan LPPDK pihak terkait dilakukan secara manual pada detik-detik terakhir tenggang waktu penyampaian LPPDK,” katanya.

Selain kondisi faktual itu, dalil pemohon yang menilai pihak terkait terlambat menyerahkan LPPDK juga tidak dapat diterima secara hukum, karena berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU Pilkada diatur bahwa tenggang waktu penyampaian laporan sumbangan dana kampanye dan pengeluaran (LPPDK) adalah satu hari sesudah masa kampanye berakhir.

Oleh karena itu, dalil pemohon bahwa telah terjadi keterlambatan penyampaian LPPDK pihak terkait sama sekali tidak beralasan secara hukum dan harus ditolak.

Pada akhir keterangan pihak terakait itu, Defika bersama tim kuasa hukum lainnya,

Riyaldi, Desman Ramadhan, Melisha Yolanda, Ike Elvia, Rikep Febrian, Mulyadi, Nanda Putra, dan Reynold Kurniawan meminta hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan menerima eksepsi pihak terkait untuk seluruhnya, dan menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima.

Kemudian dalam pokok perkara, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya dan menyatakan benar dan tetap berlaku Keputusan KPU Kabupaten Sijunjung Nomor 272/PL.02.06-Kpt/1303/KPU-Kab/XII/2020 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Sijunjung Tahun 2020, tanggal 15 Desember 2020. (***)



Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved