Eddy Hiariej menjadi buah bibir ketika bertindak sebagai ahli tim hukum Presiden Jokowi-Maruf Amin dalam sengketa Pilpres 2019 lalu. Foto/dok.SINDOnews |
Jakarta, AnalisaKini.id- Presiden Jokowi melantik pakar hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Sharif Hiariej menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/12/2020). Pria yang akrab disapa Prof. Eddy Hiariej ini dipercaya Presiden mendampingi Menkumham, Yasonna Laoly.
Jajak karier Eddy di bidang hukum dan kademisi diakui banyak pihak setelah pria kelahiran Ambon 17 April 1973 itu dinobatkan menjadi Guru Besar di UGM. Kala itu, usia Eddy terbilang masih relatif muda yakni 37 tahun saat menyandang gelar profesor di Kampus tersebut.
Bahkan, Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD tak segan menganggap Eddy sebagai 'teman ngopinya' untuk berdiskusi tentang pelbagai diskursus hukum yang berkembang di Indonesia.
Nama Eddy menjadi buah bibir dan pembicaraan publik saat ia dihadirkan sebagai ahli oleh tim hukum Presiden Jokowi-Ma'ruf Amin di sidang sengketa Pilpres 2019 lalu. Kala itu, Eddy harus 'adu debat' dengan Tim Hukum Prabowo Subianto-Sandiaga S Uno yang digawangi mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto (BW) dan Wamenkum Denny Indrayana. Eddy sempat dipertanyakan duet BW-Indra dalam keahliannya di bidang kepemiluan. Sementara, Eddy sendiri seorang pakar pidana.
Eddy sendiri mengaku sebelum berbicara di hadapan yang mulia hakim kontitusi sempat menelpon Mahfud dan meminta pertimbangan temannya itu. Saat itu, Mahfud mendukung kapasitasnya sebagai pakar pidana lalu berbicara tentang kepemiluan. Benar saja, perdebatan mengenai hal itu mengemuka di sidang sengketa Pilpres 2019. BW bahkan sampai menantang Eddy tentang berapa banyak karya ilmiah Eddy di bidang kepemiluan.
"Sekarang saya ingin tanya. Saya kagum pada sobat ahli tapi pertanyaannya, anda sudah tulis berapa buku yang berkaitan dengan pemilu yang berkaitan dengan TSM? Tunjukkan pada kami bahwa anda benar-benar ahli. Bukan ahli pembuktian, tapi khusus pembuktian yang kaitannya dengan pemilu," tanya BW kepada Eddy dalam sidang PHPU Pilpres 2019, saat itu.
"Berikan pada kami buku-buku itu mungkin kami bisa belajar. Berikan pada kami jurnal-jurnal internasional yang anda pernah tulis. Kalau itu sudah dilakukan, maka kami akan menakar anda ahli yang top. Jangan sampai ahlinya di A ngomongnya B, tapi tetap ngomong ahli," sambung BW.
Saat diberi kesempatan oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menjawab pertanyaan BW, Eddy pun mengungkapkan bahwa awalnya saat dirinya ingin menjadi ahli hukum pidana untuk Tim Hukum Jokowi - Ma'ruf Amin hal itu pun sempat menjadi perdebatan internal mereka.
"Tadi disinggung oleh kuasa hukum pemohon (BW) tentang kualifikasi ahli. Jadi saya buka bukaan saja yang mulia, ini sidang yang terhormat. Jangankan kuasa hukum pemohon, kuasa hukum pihak terkait (Tim Hukum Jokowi - Ma'ruf Amin) saja ketika saya ingin menjadi saksi ahli terjadi perdebatan kok, karena orang mengetahui saya (ahli) saya pidana," ungkapnya saat itu.
Eddy pun mengaku bahwa dirinya memang belum pernah menulis soal hukum yang berkaitan dengan Pemilu. Namun, Eddy berpandangan bahwa sebagai seorang profesor dan guru besar hukum yang pertama harus dikuasai bukan soal bidang ilmunya melainkan azas dan teori.
"Karena dengan azas dan teori itu dia bisa menjawab semua persoalan hukum, kendati pun memang saya belum pernah menulis spesifik soal Pemilu," ujarnya.
Kemudian, Eddy pun lantas meminta BW untuk membaca CV yang telah diserahkan dirinya ke panitra MK jika ingin mengetahui terkait berapa jumlah buku dan jurnal internasional yang telah ditulisnya. Sebab, kata Eddy, jika dirinya harus menyebutkan satu-persatu di muka persidangan bisa menghabiskan waktu sidang tersebut.
"Kalau saya sebutkan dari poin satu sampai poin 200 nanti sidang ini selesai," ketus Eddy saat itu. (sindonews.com/***)