H. Alex Indra Lukman. |
Padang, AnalisaKini.id- Dinamika wacana perpolitikan di Sumatera Barat, tak bisa dilepaskan dari pertarungan gagasan para elit di level nasional. Bandul preferensi pilihan politik urang awak, bergeser seiring polarisasi elit di antara kubu yang saling berhadap-hadapan.
“Politik urang awak tidak lokal. Dalam wacana politik, bingkai wacana orang Minang itu berada dalam konstelasi nasional. Oleh karena itu, peta perpolitikan di pusat, berpengaruh besar terhadap pilihan politik orang Minang,” ungkap Ketua PDI Perjuangan Sumbar, H. Alex Indra Lukman dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (13/10/2020).
Pernyataan Alex ini terkait hasil survei yang dirilis Spektrum Politika, Minggu (11/10/2020). Survei ini secara kritis mencoba mengurai penyebab lahirnya pernyataan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri yang sempat mengaku bingung dan bertanya-tanya, dengan rentetan kekalahan yang dialami partainya di tanah Minang.
“Saya pikir kenapa ya, rakyat di Sumbar itu sepertinya belum menyukai PDI Perjuangan, meskipun sudah ada daerah yang mau ada DPC atau DPD,” kata Megawati saat memberikan pengarahan kepada pasangan calon yang diusung partai berlambang banteng moncong putih itu pada pemilhan serentak 2020 pada 2 September 2020 lalu.
Menurut Alex, dialektika politik orang Minang, sejak sebelum kemerdekaan hingga sekarang telah membuktikan premis (preferensi politik orang Minang tergantung elit di pusat-red) yang disampaikannya itu.
“Kerasnya pertarungan kubu Islam dengan kaum nasionalis di Pemilu 1955 lalu, terlihat jelas di Provinsi Sumatera Tengah yang didalamnya terdapat Sumatera Barat saat ini. Pertarungan itu terus berlanjut hingga Pemilu setelah reformasi 1998 lalu. Pemenang Pemilu di Sumbar ini selalu berganti setiap pemilunya,” ungkap Alex.
Di periode 1955 itu, urai Alex, pertarungan ideologi parpol-parpol di Indonesia yaitu nasionalis, komunis dan Islam, bahkan merasuk jauh dalam kehidupan masyarakat Minang.
Sejarah mencatat, perbedaan ideologi itu terjadi hingga tingkat keluarga. Antara ayah, ibu dan anak serta mamak (paman-red) dalam satu kaum, jamak terjadi perbedaan pilihan politik.
“Membingkai ketidaktertarikan masyarakat Minang di masa sekarang pada PDI Perjuangan dengan mengabaikan historis sosiologis masyarakat itu sendiri, tentunya suatu hal yang kurang lengkap,” ujar Alex. (***/relis)