Nadiem Makarim. (ist) |
Nadiem dianggap belum dapat mewujudkan secara nyata program dan visi Nawacita sebagai Menteri Pendidikan sebagaimana harapan tinggi telah disematkan kepadanya saat ditunjuk oleh Presiden Joko Widodo.
Guru Besar FISIPOL Universitas Gadjah Mada, Wahyudi Kumorotomo mengatakan, Nadiem sebagai Menteri Pendidikan tidak betul-betul menguasai peta persoalan pendidikan di Indonesia.
"Nadiem agaknya lebih cocok menjadi salah satu dirjen dalam Kementerian Pendidikan yang dapat membuat inovasi di bidang teknologi pendidikan" katanya dalam diskusi online seperti dikutip dari merdeka.com, Rabu (8/7/2020).
Dia mengungkapkan, terdapat konteks yang berbeda di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang kini menangani semua jenjang pendidikan di Indonesia.
Selain itu, ide Nadiem yang menghendaki semua kegiatan PBM dilakukan secara daring tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Sebab, banyak daerah yang belum mempunyai infrastruktur pendidikan yang memadai. Jangan lagi internet, bahkan banyak daerah di Indonesia yang belum teraliri listrik.
"Hal ini tentu memerlukan segregasi dan segmentasi kebijakan sesuai dengan kenyataan di setiap daerah. Artinya tidak semua jenjang dan daerah dapat dilakukan PBM secara daring karena banyak materi pembelajaran yang memerlukan mentoring pengajar" jelasnya.
Wahyudi juga menyoroti program Merdeka Belajar dengan banyak catatan. Program ini, dia menilai, pada tingkat operasional tidak benar-benar dapat diimplementasikan untuk mewujudkan pembelajaran secara merdeka sesuai dengan visi dan konsep yang dibuat.
"Program Merdeka Belajar sejauh ini tampak baru sebatas gimmick," tegasnya.
Selain itu, dia juga menyinggung perkembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang tidak terlalu meyakinkan. Sampai dengan tahun 2019, SDM Indonesia masih didominasi lulusan SD (32%) dan SMP (22,8%) atau 54% lebih. Berikutnya, lulusan SMA (20,15%), SMK (17,31%), D1-D2-D3 (1,8%), dan S1 ke atas (4,11%). Terkait dengan hal ini tampaknya belum ada terobosan dari Menteri Nadiem.
Wahyudi justru meragukan apa yang tertuang dalam Strategi kemendikbud 2020-2024 yang menjadi bagian program Merdeka Belajar, yang menyebutkan bahwa angka partisipasi peserta didik di perguruan tinggi dipatok pada angka 70%.
"Bagaimana mungkin pada tahun 2019 berada di angka partisipasi 4,11% lalu melompat ke angka 70% hanya dalam empat tahun?" tutupnya. (***)
Bagikan