arrow_upward

Video Kemarahan Jokowi Beredar, Ini Pendapat Pakar Otda

Senin, 29 Juni 2020 : 12.43
Facebook Djohermansyah Djohan.
Jakarta, AnalisaKini.id-Pakar otonomi daerah, Prof. Dr. Drs. H. Djohermansyah Djohan, MA atau yang akrab disapa Prof Djo turut berkomentar terhadap video Presiden Joko Widodo yang menampilkan kemarahannya pada sejumlah menteri.

Kemudian, mengancam reshuffle kabinet, hingga pembubaran lembaga, dalam rapat terbatas para menteri 18 Juni silam. Pihak istana baru merilis video tersebut sepuluh hari kemudian, 28 Juni 2020.

Prof Djo mengatakan lumrah bila pemimpin memarahi anak buahnya, agar efektif harus ada sanksi tegas. Dalam dinding akun Facebooknya (29/6), Djo mengatakan
sebetulnya, lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, dan presiden sekalipun biasa saja bila marah kepada anak buah.

Adapun yang tidak biasa bila para pemimpin pemerintahan marah kepada rakyat yang memberikan pendapat dan nasehat. Karena sejatinya rakyatlah atasan dari pemimpin pemerintahan.

"Pemimpin marah lazimnya karena anak buah tidak bekerja dengan baik, " kata Djo.

Ancaman Covid 19 yang membahayakan 267 juta jiwa rakyat Indonesia tidak ditangani anak buah dengan tepat, cepat, dan seksama.

Lain yang diminta presiden, lain pula yang dikerjakannya. Lain yang gatal, lain pula yang digaruknya. Atau kalau ada yang dikerjakan, pekerjaan itu jauh dari target dan harapan pimpinan.

Atau ketika regulasi sudah jadi, perintah diturunkan berkali-kali, tapi eksekusinya berjalan lamban sekali. Melihat kelakuan anak buah kayak begini, mana ada pemimpin yang tidak "angry" (berang).

"Untunglah Presiden Jokowi marahnya masih terkendali, tidak sampai memaki-maki,' sebutnya.

Banyak pemimpin di dunia pemerintahan yang kalau marah dengan gampang melontarkan nama-nama fauna di kebon binatang.

Sesudah marah reda apa tindak lanjutnya? Kalau anak buah tidak juga berubah, pemimpin harus menindaknya dengan tegas, alias dicopot saja. Bukankah mutasi perkara biasa dalam suatu organisasi birokrasi? Bisa saja dia dipindah ke tempat lain, yang lebih sesuai kemampuannya.

Atau diberhentikan tapi dicarikan jalan penyelamatan, seperti di-Dubes-kan dan di-Dekom-kan. Pilihan terakhir dilepaskan tanpa jabatan dengan risiko mereka akan jadi oposan.

Ke muka hendaknya hati-hati memilih anak buah.  Jangan sampai salah meletakkan orang dalam jabatan. Tukang kayu tidak bakal mungkin bisa menjadi tukang batu yang baik.

Jangan pula kita keliru memberi hadiah kursi jabatan tinggi se level menteri pada orang yang pernah memberi konstribusi sehingga kita jadi petinggi, padahal dia tidak berisi atau kapasitasnya belum mumpuni.

Pendapat Djo tersebut, cukup banyak direspon publik berikut di antaranya :

“Blu, trjbak sdri dlm status quo tata kelola sistem pemerinthnnya di tengah pandemi. Tdk disadari, smpe hari ini diliputi komplksitas sistem yg dibiarkan ststus quo mnghdpi covid 19. Semua regulasi yg dikluarkan tdk mndobrak status quo tsb, sadar atau tdk  Prof Djohermansyah Djohan..Tampak gregetan jadinya. Asal bukan pengalihan isu yah, karena ini tentu sangat menarik perhatian. Wallahu alam bishawab. Salam.sehat.!” tulis Guru Besar Ilmu Administrasi UI, Prof. Irfan Ridwan Maksum.

“Menterinya jalan sendiri2 dgn kepentingannya masing2 jadikan Covid 19 utk menjadi hero masing2 utk namanya masing2.” Komentar Frans Maniagasi, Tokoh dan Pemerhati Otsus Papua.

“Akibat dr rekrutmen pejabat yg terlalu kental nilai politisnya.” cantum birokrat Pemda Tabanan, I Nengah Wisnu Wardana. (***)
Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved