Raihan Al Karim |
Raihan Al Karim
(Wartawan Muda/team ITE)
Tulisan ini bukan bermaksud untuk mendiskreditkan atau upaya ketidaksetujuan terhadap perancangan dan implementasi konsep Pendaftaran dan Seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk calon siswa SMA/SMK di Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).
Akan tetapi ditujukan untuk mengajak semua elemen, terutama Pemerintah Provinsi (Pemprov) sedikit memahami konsep pendaftaran dan seleksi PPDB online yang saya nilai salah kaprah ini.
Keluhan orang tua murid pada sistem seleksi PPDB Online 2020 di Sumbar menjadi sorotan publik. Soalnya, pendaftaran pada website ppdbsumbar2020.id mengalami gangguan teknis di sisi sistem dan server website, sehingga mengakibatkan website tersebut belum bisa digunakan menjadi wadah untuk pendaftaran siswa SMA/SMK secara online.
Hal ini tentu membuat tidak sedikit orang tua murid risau. Mereka tentu ingin anak-anaknya mendapatkan pendidikan terbaik dari sekolah yang ditempuhnya. Ditambah lagi dengan kecemasan orang tua murid akan perubahan kebijakan-kebijakan.
Lalu, mengapa saya katakan salah kaprah? Baru-baru ini, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumbar, Adib Alfikri mengatakan, aplikasi atau website pendaftaran PPDB Online Sumbar 2020 (ppdbsumbar2020.id) dibangun bukan melalui pihak ketiga atau vendor.
Kita patut mengapresiasi Adib Alfikri yang dengan bangganya menyebut, sistem website tersebut dibangun oleh tim IT di instansi yang dipimpinnya itu.Adib juga menyebut, tim IT mereka juga sudah memiliki skill yang mumpuni dalam membangun sistem PPDB online.
Bahkan, resource-nya itu disebut telah menciptakan berbagai aplikasi.Tapi tampaknya ini bukan waktu yang tepat untuk "mencoba-coba". Peristiwa ini seakan-akan ada unsur percobaan, meskipun Adib dengan tegas menyebut pembangunan sistem web PPDB ini tidak ada sedikitpun unsur uji coba.
Memang, jika tim IT dari Dinas Pendidikan berhasil membangun sistem ini, menjadi suatu kebanggaan bagi Dinas Pendidikan Sumbar, kita bangga bisa mengembangkan dan membangun sistem tersebut hanya dengan menghandalkan resource atau tim IT yang ada di internal Dinas Pendidikan.
Fenomena kali ini membuat saya bertanya-tanya. Bukankah semestinya pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus fasilitator untuk menyiapkan arah guna menyeimbangkan penyelenggaraan pembangunan melalui penerbitan peraturan-peraturan?
Sebagai regulator, bukannya pemerintah seharusnya hanya memberikan acuan dasar kepada eksekutor sebagai instrumen untuk mengatur segala kegiatan pelaksanaan dalam perancangan dan implementasi sistem tersebut? Mengapa pemerintah seolah-olah menjadi regulator sekaligus eksekutor?
Menurut saya, seharusnya Pemerintah Provinsi tidak perlu ikut campur tangan dalam pembuatan sistem website PPDB Sumbar 2020 ini. Mengapa Panitia PPDB Online Sumbar dan Dinas Pendidikan Sumbar tidak menyerahkan perancangan dan implementasi sistem website ini sepenuhnya kepada eksekutor (dalam hal ini pihak ketiga atau vendor)? Bukannya alangkah baik jika seperti itu?
Jika ini diterapkan, tentu pemerintah bisa membuat regulasi yang jelas kepada vendor dalam pengerjaan sistem ini. Jika vendor melanggar regulasi, kan bisa dengan menempuh jalur hukum. Sesederhana itu bukan?
Dalam hal ini, saya sama sekali tidak meremehkan atau tidak mempercayai tenaga IT yang membangun situs website PPDB Sumbar 2020 ini. Justru saya berpikir, seharusnya tim IT yang ada di Dinas Pendidikan Sumbar tidak membuat aplikasi semacam ini, maupun aplikasi atau sistem lainnya. Tetapi alangkah baiknya mereka dikerahkan sebagai auditor, dalam hal ini memantau vendor yang merancang dan membangun sistem tersebut agar sesuai dengan aturan dan target yang diinginkan.
Di samping bisa memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) IT yang ada di Dinas Pendidikan, mungkin salah satu faktor yang memberatkan untuk memberikan proyek atau pembangunan sistem PPDB ini adalah anggaran. Lalu, muncul pertanyaan baru. Memang seberapa mahal anggaran yang harus disiapkan jika ingin menyerahkan pembangunan sistem ini kepada vendor?
Mungkin jika kita menggandeng vendor-vendor 'besar' seperti PT Telkom untuk menyediakan aplikasi dan jaringan memadai pada penyelenggaraan PPDB, bisa memakan anggaran yang besar. Tapi, apakah vendor-vendor lokal tak sanggup? Saya yakin, vendor lokal sanggup, mereka mampu, bahan dengan anggaran minim sekalipun, namun mereka tak diberi ruang.
Setahu saya, dalam membangun atau mengembangkan sebuah sistem, ada beberapa tahapan yang harus dilewati dalam proses pembangunan sistem tersebut. Dalam bahasa IT, tahapan itu tertuang dalam System Development Life Cycle (SDLC), atau yang dalam bahasa Indonesia bisa kita artikan sebagai sebuah siklus dari pengembangan sistem.
Pada dasarnya, SDLC ini berisi beberapa tahapan yang menggambarkan mengenai siklus dari sebuah sistem yang dibangun. Di antaranya, analisis sistem, spesifikasi kebutuhan sistem, perancangan sistem, pengembangan sistem, pengujian sistem, serta implementasi dan pemeliharaan sistem.
Tiap-tiap tahapan itu tentunya memiliki bidang atau divisi yang berbeda-beda. Seperti dalam perancangan sistem, kita membutuhkan konsultan. Kemudian juga dibutuhkan analis sistem yang berperan mencoba penetration test (pengujian), hingga dalam pengimplemetasiannya. Itulah sebenarnya standar persyaratan yang harus dilalui dalam pembangunan sebuah sistem di dunia IT.
Pertanyaan sederhananya, apakah sistem website PPDB Sumbar 2020 sudah melalui penetration test? Apakah situs web PPDB Sumbar 2020 sudah dicoba untuk menampung pengguna dalam waktu sekaligus (realtime) sebanyak para calon siswa? Karena ini akan menjadi momok, ketika website atau aplikasi diluncurkan, jika tidak melalui tahapan-tahapan seperti itu, bisa-bisa dibobol hacker atau implementasinya tidak sesuai dengan perancangan.
Apalagi, setiap sistem atau aplikasi pemerintahan e-government, harus lulus uji atau melalui proses audit secara komprehensif dari Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), mulai dari infrastruktur, teknis, tata kelola, standarisasi sistem, semuanya itu ada analisanya.
Mestinya, ini yang harus menjadi perhatian kita bersama. Jangan menjadikan ajang pendaftaran PPDB sebagai loncatan atau bahan coba-coba. Seakan terkesan mempertaruhkan dan berisiko tinggi.
Singkat saja, kejadian ini mestinya kita jadikan pelajaran, sekaligus mengambil hikmah di balik semua ini. Jika ingin industri IT berjalan di Padang, mestinya antara regulator dan eksekutor, harus dipisahkan. Jika regulator, ya regulator saja. Eksekutor, ya eksekutor saja.
Semoga permasalahan yang dialami saat ini segera teratasi dan tidak terulang lagi di lain waktu. Jika memang ingin membangun sebuah sistem yang 'benar-benar sistem', tentu harganya juga 'benar-benar harga'. (Penulis alumni Jurusan Teknologi Informasi Politeknik Negeri Padang)**
Bagikan