arrow_upward

Perempuan Minang Jadi Kepala Daerah Hanya Ilusi, Benarkah?

Selasa, 30 Juni 2020 : 12.56
Diskusi perempuan Minang. (ist)
Padang, AnalisaKini.id-Kepala daerah di Sumbar sejak Orde Baru hingga era Reformasi sekarang, belum ada dari kaum perempuan. Padahal sebagai negeri bundo kanduang, idealnya tentu ada.

Sementara di provinsi lain, contohnya Jawa Timur, ada 39 kepala daerah gubernur/bupati/walikota), 10 di antaranya adalah perempuan, termasuk gubernur.

Sebenarnya di Sumbar yang menjadi basis etnik Minangkabau, seperti ditulis oleh wartawan Singgalang, Effendi  berjudul 'Kepala Daerah Perempuan di Negeri Bundo Kanduang?, masalah kepemimpinan perempuan bukanlah sesuatu yang baru. Adat dan budaya matrilineal (garis keturunan berdasarkan garis ibu) bahkan memposisikan perempuan seakan lebih tinggi dari laki-laki, khususnya dalam hal keluarga dan penguasaan harta pusaka.

Dalam cerita tradisional seperti di tambo, kaba dan legenda, peran perempuan Minang dalam kehidupan sosial, termasuk politik, juga tergambarkan. Kaba Mande Rubiah (Ibu Rubiah) sebagai Bundo Kanduang, misalnya, jelas merepresentasikan posisi penting perempuan dalam kehidupan sosial di Ranah Minang.

Etnis Minang sendiri memang pernah menorehkan tintas emas dalam sejarah dengan tampilnya tokoh-tokoh perempuan pelopor, seperti Rohanna Koeddoes (1884-1972), Rahmah El Yunusyiah (1900-1969), dan Rasuna Said (1910-1965). Ini memang memberikan citra positif.

Bahkan, Israr Iskandar, dosen Universitas Andalas (Unand) Padang lewat karya tulisnya berjudul "Walinagari Perempuan di Era Reformasi" di jurnal Aspirasi volume 2 nomor 1, Juni 2011, mengungkapkan, terpilihnya figur perempuan, Bariana Sain sebagai walinagari di Batu Basa pada 28 Februari 2009, menunjukkan fenomena umum pemimpin politik baru.

Menurutnya, faktor kapasitas dan kapabelitas tokoh perempuan menjadi faktor keterpilihan mereka sebagai walinagari. Faktor lain, tentu saja lebih karena ketokohan sang walinagari terpilih. Mereka dinilai memiliki segudang pengalaman dalam mengurus masalah kemasyarakatan, baik sewaktu menjadi PNS maupun setelahnya.

Bariana Sain misalnya memiliki segudang pengalaman dan prestasinya sebagai aktivis sosial dan organisatoris di kampung maupun perantauan. Ini menjadi modal dan sekaligus pedoman bagi masyarakat di kampung halamannya untuk mempercayainya sebagai walinagari.

9 Desember 2020, Pilkada serentak kembali digelar, termasuk Sumbar. Dan sejauh ini, nama calon kepala daerah di Sumbar yang mengapung adalah Edriana untuk cagub Sumbar, Betty Shadiq Pasadigue untuk Cabup Tanah Datar, Endarmy untuk Cabup Padang Pariaman dan Yemmelia, Cawako Bukittinggi.

Tapi itu baru sebatas kandidat, belum resmi sebagai calon kepala daerah. Kalaupun sudah resmi sebagai calon kepala daerah, sudah beberapa kali Pilkada serentak di Sumbar, nasib bundo kanduang apes.

Misalnya Emma Yohanna. Tampil sebagai Cawawabup Pasaman Barat pada Pilkada 2005 mendampingi Cabup Zulkenedi Said, apes. Emma mencoba lagi menjadi Cawako Padang bersama Cawawako Wahyu Iramana Putra pada Pilkada 2013, juga apes.

Dewi Fitri Deswati, juga maju sebagai Cawako Pariaman pada Pilkada 2018, juga belum bernasib mujur. Rahmi Brisma menjadi Cawawako Bukittinggi mendampingi Cawako Harma Zaldi juga apes pada Pilkada 2015.

Lantas bagaimana Pilkada 2020? Apakah perempuan minang hanya sebatas ilusi menjadi kepala daerah? Ikuti diskusi menarik dengan menghadirkan sejumlah tokoh perempuan pada Kamis, 2 Juli 2020 mendatang pukul 13.30-16.30 WIB.

Diskusi yang diadakan oleh SpektrumPolitika bekerja sama dengan Klikpositif dapat disaksikan di youtube.com/c/Klikpositif.com.

Diskusi dimoderatori oleh Dr. Asrinaldi dan Andahayani Yosef dengan pembicara Emma Yohanna (Anggota DPD RI), Lisda Hendrajoni (Anggota DPR dari Fraksi NasDem), Nevi Irwan Prayitno (Anggota DPR dari Fraksi PKS), Edriana, SH, MA (Aktivis Perempuan/Pendiri WRC), Dr. Indah Adi Putri (Kajur Ipol Unand), dan Yefri Heriani (Nurani Perempuan/Ketua Ombudsman Sumbar). (***)
Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved