Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas. |
Jakarta, AnalisaKini.id- Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas menyesalkan nama organisasi Muhammadiyah digunakan dalam penyelenggaraan seminar nasional yang diadakan Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Kolegium Jurist Institute (KJI) tentang pemakzulan presiden di era pandemi virus corona (Covid-19).
Anwar menilai tindakan itu bisa merusak nama baik dan mempersulit posisi organisasi Islam yang dipimpinnya saat ini.
"Yang jadi masalah mungkin bukan seminar dan diskusinya ya, tetapi terpakai nama Muhammadiyah. Itu kan masalah sensitif, pakai nama Muhammadiyah tanpa sepengetahuan PP Muhammadiyah," ujar Anwar seperti dikutip dari CNNIndonesia.com, Senin (1/6).
Menurut dia, tidak keberatan jika ada orang atau pihak yang bicara dan diskusi tentang kebebasan berpendapat dan konstitusionalitas pemakzulan presiden di era pandemi Covid-19. Sebab, dia menilai Indonesia memiliki kebebasan berbicara sebagaimana dijamin dan dilindungi oleh undang-undang.
Akan tetapi, dia mengingatkan penyematan nama Muhammadiyah dalam diskusi itu harus melalui izin dari organisasi. Anwar mengatakan hal itu harus dilakukan mengingat topik diskusi itu menyangkut hal yang sangat sensitif.
"Dan oleh pihak penguasa dan atau para pendukung rezim tentu bisa diartikan bermacam-macam sehingga hal demikian bisa merusak nama baik dan mempersulit posisi Muhammadiyah dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik," ujar Anwar.
Pihaknya sama sekali belum menerima permohonan konsultasi atau informasi dari penyelenggara acara tersebut, akan menyematkan Muhammadiyah. Dia baru mengetahui dari tautan sejumlah pihak lewat pesan aplikasi Whatsapp.
"Belum ada dan tidak ada konsultasi. Banyak warga Muhammadiyah yang bertanya kepada saya sehingga saya mengeluarkan pernyataan itu," ujar Anwar.
Dia mengingatkan Muhammdiyah menjalin hubungan dengan semua pihak. Dia menegaskan Muhammadiyah bukan lembaga atau gerakan politik.
"Untuk itu saya sangat menyesalkan dan mengimbau para pihak kalau akan menyelenggarakan acara yang akan menyeret-nyeret nama Muhammadiyah ke ranah politik semestinya sebelum melaksanakan, hendaknya bertanya dan berkonsultasi dulu dengan pimpinan pusat dan atau pimpinan wilayah Muhammadiyah setempat," kataya.
Sebelumnya, MAHUTAMA dan Kolegium Jurist Institute menyelenggarakan webinar nasional dengan tema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19. Acara itu diikuti sejumlah pembicara, yakni Ketua Dewan Pertimbangan MUI
Pusat Din Syamsuddin, Ketum MAHUTAMA Aidul Fitriciada dan Direktur Eksekutif KJI Ahmad Redi.
Kemudian, guru besar FH Unpad Susi Harijanti, mantan Wamenkumham Denny Indrayanan, pengamat politik Refli Harun, pengamat hukum Bivitri Susanti, hingga pakar Pancasila Suteki.
Dalam acara itu, Din menyatakan pemakzulan pemimpin bisa dilakukan jika memenuhi syarat seperti dalam pemikiran tokoh pemikir politik Islam, Al Mawardi. Adapun tiga syarat itu adalah ketiadaan keadilan, ketiadaan ilmu pengetahuan, dan ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini mengatakan pemakzulan pemimpin sangat mungkin dilakukan apabila terjadi kepemimpinan represif hingga cenderung diktator.
"Pemerintah Indonesia belakangan ini tak berbeda jauh dengan kondisi tersebut," katanya. (***)
Bagikan