arrow_upward

Politisi PAN Kritik Draft RUU Pemilu tentang Syarat Pengajuan Cakada

Minggu, 31 Mei 2020 : 22.52
Drs. H. Guspardi Gaus, M.Si

Jakarta, AnalisaKini.id-Anggota Komisi II  DPR, Guspardi Gaus mengkritisi draft atau konsep RUU Pemilu 2020 yaitu syarat pengajuan Cakada (Calon Kepala Daerah).

Dalam draf tersebut pengajuan Cakada hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mempunyai paling sedikit 20% dari jumlah kursi anggota DPR atau memperoleh 25% dari suara sah dalam Pemilu anggota DPR sesuai hasil Pemilu Nasional sebelumnya. 

Guspardi menjelaskan pada Pasal 741 ayat (3) dalam draft RUU tersebut menyatakan, UU mulai berlaku setelah lima tahun sejak tanggal diundangkan, dikecualikan untuk Pilkada 2020, 2022, dan 2023 dan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Namun jika belum memungkinkan untuk disahkan dan diundangkan, maka secara otomatis pada pelaksanaanpilkada serentak tahun 2020 ini, pencalonan kepala daerah masih mengacu pada UU no 6 tahun 2016.

"Dengan ketentuan calon dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang mempunyai paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi suara sah dalam pemilu anggota DPRD di daerah yang bersangkutan," ungkap Legislator asal Sumatera Barat ini.

Dalam draft RUU tersebut, sebut Guspardi, pada pasal 192 untuk pemilihan Gubernur dan pasal 197 untuk pemilihan Bupati dan Walikota dimasukkan usulan syarat boleh mengajukan calon kepala daerah baik itu tingkat Gubernur, Bupati dan Walikota harus mengacu kepada perolehan suara partai politik di tingkat pusat (DPR).

Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :
Partai Politik atau gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) huruf a dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi anggota DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sahdalam Pemilu anggota DPR sesuai hasil Pemilu Nasional sebelumnya.  

Ketentuan baru tersebut, menurut Guspardi dinilai tidak adil. Jika partai politik yang berhasil lolos parliamentary threshold di tingkat pusat tetapi tidak mengakar ke bawah alias tidak mendapatkan suara / kursi di tingkat DPRD provinsi, kabupaten/kota atau sebaliknya ada partai di tingkat pusat atau DPR RI tidak punya wakil di parlemen tetapi di daerah memperoleh kursi mayoritas atau lebih 20%.

"Semua ini bertentangan dengan cita-cita dan semangat reformasi yang menginginkan adanya alam demokrasi yang sehat, yang mampu memunculkan semua potensi pemimpin dari daerah," katanya.

Hal ini juga bertentangan dengan semangat otonomi daerah, mengkerdilkan hak politik rakyat di daerah dan juga tidak mempertimbangkan kearifan lokal.

Guspardi menegaskan persyaratan calon yang mengacu kepada perolehan kursi DPR bertentangan dengan tujuan reformasi karena ketentuan persyaratan ini merupakan upaya untuk mengembalikan kekuasaan yang bersifat sentralistik.

Beberapa partai politik yang berhasil mengirimkan wakilnya di tingkat DPRD provinsi, kabupaten/kota tetapi belum berhasil di tingkat nasional tentu akan gigit jari karena tidak bisa mengusung calon kepala daerah. Ini bisa diartikan mengarah kepada otoritarianisme baru dengan berselimutkan demokrasi.

Di samping itu dengan acuan suara pusat ini dikhawatirkan  akan mengganggu  jalannya roda pemerintahan di daerah dan berdampak kepada stabilitas jalannya roda pemerintahan di daerah tersebut.

"Apakah setiap kebijakan yang akan dibuat Walikota, Bupati dan Gubernur dapat berjalan efektif. Apalagi jika partai yang mengusung kepala daerah hanya  mempunyai wakilnya tidak sampai 10%  bahkan cuma 5% di DPRD kabupaten/kota dan DPRD provinsi, pungkas anggota Baleg DPR ini.(***)
Bagikan

Terbaru

Copyright © Analisakini.id | Jernih Melihat - All Rights Reserved