Padang, Analisakini.id-
Kepala Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura (Disbuntanhor) Provinsi Sumatra Barat, Febrina Tri Susila Putri memberikan penjelasan terkait masuknya surat aduan dugaan indikasi tindak pidana Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dikirim ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat baru-baru ini.
Klarifikasi itu difasilitasi Dinas Komunikasi Informasi dan Statistik (Kominfotik) Sumbar, Kamis (3/7) di Aula Kominfotik Sumbar.
Diketahui sebelumnya, surat aduan itu mengatasnamakan Karyawan/ti Distanhotbun Sumbar serta mengungkapkan 14 poin indikasi tindakan indisipliner, maladministrasi, nepotisme, hingga penyimpangan anggaran tersistematis yang dilakukan Febrina Tri Susila selaku kepala Dinas .
"Insyallah, saya belum berani melakukan semua hal yang dituduhan itu karena saya masih takut mati dan dosa," ujarnya Rina.
Febrina menduga surat aduan anonim itu dibuat dan dimunculkan oleh pihak-pihak tertentu di internal Disbuntanhor. Saat ini, pihaknya tengah melakukan pemeriksaan khusus internal untuk mengusut asal usul surat aduan tanpa identitas itu.
"Banyak kejanggalan dalam surat itu. Karena substansi berkaitan dengan internal, maka saat ini kami sedang melakukan pemeriksaan khusus yang saat ini masih belum bisa kami sampaikan," jelasnya.
Febrina juga menyatakan akan menjadikan surat aduan tersebut sebagai bahan evaluasi dan introspeksi untuk mengkonsolidasikan Disbuntanhor agar lebih solid kedepannya.
"Bagi saya pribadi sebagai pimpinan inilah introspeksi diri saya dan bagaimana mengkonsolidasikan barusan kedepannya," tegas dia.
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Sumbar Siti Aisyah mengajak publik lebih kritis dan cerdas dalam mencermati sejumlah kejanggan serta kesalahan sistematika penulisan yang termuat dalam surat aduan tanpa identitas tersebut.
Beberapa kejanggalan itu misalnya seperti kesalahan penulisan nomenklatur nama Dinas, serta jumlah pegawai di Disbuntanhor yang dinyatakan surat itu mencapai angka 16 ribu orang.
"Kejanggalan itu mengindikasikan pihak yang membuat surat itu benar-benar tidak paham mengenai Distanhortbun," ungkapnya
Menurut Siti Aisyah, Inspektorat Sumbar selaku pengawas internal sudah menyadari adanya sejumlah kejanggalan yang termuat didalam surat tersebut.
"Artinya surat itu hanya sekadar mengingatkan buk Rina dan kawan-kawan untuk bisa lebih konsolidasi kedalam dan sebagainya," pungkasnya.
Mencuat
Dugaan tindak pidana KKN, penyalahgunaan wewenang dan indisipliner yang dilakukan Febrina Tri Susila selaku Kepala Disbuntanhor Sumbar mencuat usai munculnya surat aduan yang mengatasnamakan Karyawan/ti Distanhotbun Sumbar pada 16 April 2025 silam.
Surat yang dikirim ke Kejaksaan Tinggi Sumbar itu, mengurai 14 poin dugaan pelanggaran sistematis yang dilakukan oleh Febrina sejak awal 2025.
Pada poin pertama, aduan itu mengungkapkan tindakan indisipler sang Kepala Dinas. Febrina, dikatakan tidak hadir secara fisik di kantor sejak awal Ramadan hingga pasca Iduladha 2025, alias selama lebih dari dua bulan.
Selama periode itu, aktivitas kedinasan Febrina disebut hanya berlangsung dari rumah jabatan dengan sistem absensi secara daring. Ketidakhadiran fisik di kantor selama lebih dari dua bulan ini dinilai bertentangan dengan prinsip kedisiplinan yang semestinya menjadi teladan dari seorang pejabat publik.
Selanjutnya, laporan itu juga menyingkap dugaan praktik nepotisme dalam perekrutan tenaga honorer. Febrina disebut memasukkan anggota keluarganya, yang jumlahnya diperkirakan mencapai sepuluh orang, untuk diangkat sebagai pegawai honorer di lingkungan dinas.
Indikasi penyimpangan juga terlihat dalam pelaksanaan proyek-proyek pengadaan langsung tahun anggaran 2025, seperti pengadaan alat tulis kantor (ATK) dan kebutuhan lainnya. Proyek-proyek tersebut melibatkan rekanan yang tidak memiliki usaha resmi, namun tetap diarahkan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut.
Salah satu yang disorot adalah pengadaan baju dinas, yang ditangani oleh rekanan yang diakui sebagai adik suami Febrina, meskipun pihak tersebut tidak memiliki usaha jahit sebagaimana dibutuhkan dalam proyek tersebut.
Parahnya, laporan ini juga menyinggung praktik pungutan liar bermodus sumbangan sosial, mirip dengan pola yang sempat mengguncang Bapenda melalui setoran-setoran tidak resmi di lingkungan Samsat.
Namun kali ini, pungutan dilakukan kepada ASN di dalam Dinas Perkebunan Tanaman Pangan dan Hortikultura itu sendiri, atas nama donasi, Palestina, TNI di Papua, bahkan bencana gunung merapi, namun tak ada satu pun yang dilaporkan penggunaannya.
Surat aduan itu juga mengungkap sejumlah dugaan penyimpangan keuangan internal yang mencerminkan lemahnya transparansi dan akuntabilitas di lingkungan dinas. Di antaranya adalah pemotongan tunjangan kinerja (tukin) ASN yang dilakukan tanpa penjelasan atau laporan kepada bendahara dinas.
Selain itu, disebutkan pula adanya pemungutan uang koperasi (KOPRI) sebesar Rp15.000 hingga Rp20.000 per pegawai setiap bulan, namun tidak pernah disertai laporan pertanggungjawaban penggunaannya.
Dugaan makin menguat dengan praktik pemotongan zakat penghasilan ASN yang diklaim telah dihimpun dari ribuan pegawai, namun tidak jelas ke mana dana tersebut dialokasikan.
Parahnya lagi, aduan itu juga mengungkapkan kendaraan dinas plat merah, justru digunakan suami Febrina yang bukan bagian dari struktur ASN. Kendaraan itu dilaporkan sempat mengalami insiden kecelakaan, namun hingga kini tidak ada penjelasan resmi mengenai siapa yang bertanggung jawab atas perbaikannya dan bagaimana status penggunaannya secara hukum.
Selain itu, laporan juga menyoroti pelaksanaan perjalanan dinas luar provinsi yang diduga hanya diikuti oleh kepala dinas seorang diri. Kondisi ini menimbulkan kecurigaan perjalanan tersebut tidak dilaksanakan untuk kepentingan institusi secara menyeluruh, melainkan lebih bersifat personal.
Surat anonim tersebut, juga menyoroti atas kebijakan anggaran dari Febrina yang tidak mengakomodasi sektor prioritas seperti benih padi. Hal ini disebut berdampak pada tidak tercapainya target Peningkatan produksi padi hingga lima persen.
Terakhir, laporan mengindikasikan adanya relasi kerja yang tidak harmonis antara Febrina dengan berbagai pihak, termasuk DPRD, rekanan yang bukan orangnya, bahkan pejabat di kementerian, yang dinilai mempersulit koordinasi lintas sektor. (rl)