Drs. H. Guspardi Gaus, M.Si |
Jakarta, Analisakini.id-Anggota DPR dari Fraksi PAN Guspardi Gaus meminta pemerintah tidak merealisasikan wacana menaikkan harga BBM jenis pertalite dan solar. Soalnya, kenaikan harga pertalite dan solar, yang proporsi jumlah penggunanya di atas 70% pasti akan menyulut inflasi.
Momok kenaikan harga BBM akan mempunyai efek ganda (multiplier effect) dengan meningkatnya biaya mobilitas dan naiknya harga barang kebutuhan pokok masyarkat. Selain itu, efeknya akan berdampak langsung bagi rakyat kebanyakan seperti buruh, tani, nelayan, bahkan karyawan swasta, maupun pegawai pemerintahan itu sendiri. Ini adalah efek domino. Karena mereka semua butuh hidup untuk bekerja, sedangkan biaya transportasi dan logistik otomatis akan naik. Hal ini tentu akan berakibat makin rendah dan melemahnya daya beli masyarakat. Jika daya beli rendah, masyarakat pasti akan tertekan dan terbebani. "Pemerintah perlu memperhatikan dampak dari setiap kebijakan yang diambil agar jangan sampai membebani masyarakat," ujar Guspardi saat menanggapi pertanyaan yang dilontarkan oleh awak media, Sabtu (27/8/2022).
Menurutnya, Pemerintah harus mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat yang belum benar-benar pulih akibat keterpurukan ekonomi setelah dihantam pandemi Covid-19. Optimisme masyarakat yang sudah mulai tampak untuk membangkitkan ekonominya ditengah keberhasilan Pemerintah menghadapi wabah Covid-19 jangan sampai terdegradasi dengan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi ini.
Anggota komisi II DPR RI itupun menilai
pemerintah sebaiknya fokus melakukan pembatasan BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Karena berdasarkan data PT Pertamina Patra Niaga, sebanyak 60 persen golongan masyarakat mampu tetnyata menikmati hampir 80 persen dari total BBM bersubsidi. Artinya BBM bersubsidi justru banyak dinikmati oleh golongan menengah keatas. Belum lagi dugaan penjualan BBM ilegal yang sistematis dan terstruktur yang diduga masih terjadi dan perlu dibenahi.
Sementara itu, Menkeu Sri Mulyani mengatakan anggaran subsidi energi tahun 2022 sudah mencapai Rp502 triliun, jika ditambah lagi akan membebani APBN. Namun harus diingat anggaran Rp502 triliun itu tidak hanya untuk subsidi BBM saja. Sebab Rp 343 trilliun dialokasikan untuk membayar utang kompensasi alias utang pemerintah ke Pertamina dan PLN 2022 sebesar Rp 234,6 triliun dan utang 2021 sebesar Rp 108,4 triliun. Kompensasi ini alasannya untuk mendukung operasional Pertamina dan PLN dalam menyediakan BBM subsidi.
"Jadi ini subsidi ke Pertamina dan PLN, bukan ke rakyat. Sisanya sebesar Rp 208,9 triliun memang untuk subsidi energi. Itu pun terdiri dari subsidi BBM dan LPG Pertamina 149,4 triliun serta subsidi listrik 59,6 triliun," jelas Pak Gaus.
Oleh karena itu, pemerintah mesti lebih bijak dan mengambil tindakan tepat dengan melihat akar permasalahan sebenarnya untuk mengatasai persoalan BBM bersubsidi ini. Masih banyak persoalan yang harus dibenahi terkait BBM bersubsidi sebagaimna diungkapkan diatas.
"Solusi untuk tidak menaikkan BBM bersubsidi, pemerintah mesti melakukan evaluasi tata kelola, benahi kebocoran serta pengawasan penyaluran BBM bersubsidi agar tepat sasaran bagi masyarakat yang benar-benar behak menerimanya," pungkas anggota Baleg DPR RI tersebut.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan Presiden Jokowi kemungkinan akan mengumumkan kenaikan harga BBM pertalite dan solar pekan depan.
Dilain sisi Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, di tengah tingginya harga minyak dunia, pemerintah berupaya untuk memastikan ketersediaan BBM subsidi untuk masyarakat. Pemerintah tengah menyiapkan sejumlah langkah untuk merespons hal tersebut. Harapannya, anggaran subsidi BBM tidak semakin membengkak di tengah lonjakan harga minyak mentah dunia. (***)